Surat Kabar 39: Di Balik Kaos Polos
Di pertengahan menuju akhir (Mei),
Setiap pagi aku bangun seperti saklar tua yang dipaksa menyala, berdengung pelan tapi tak benar-benar hidup. Di luar, matahari tetap bersolek seperti biasa, tapi aku yakin ia pun bosan melihatku melangkah ke tempat yang sama: gedung bergerbang hijau tempat waktu digiling halus seperti benang kusut.
Katanya aku ini Marketing. Tapi bukan tipe yang berdasi dan posting pencapaian tiap kuartal dengan infografis rapi dan testimoni palsu dari klien. Aku marketing di industri tempat segala sesuatu harus bagus, cepat, murah, tapi tampilannya harus tetap “premium look”.
Brief-nya kadang terdengar seperti ini: “Bisa nggak, bikin baju kayak brand internasional, tapi harga lokal, deadline-nya kemarin?” Bisa saja—kalau aku punya kemampuan membelah waktu dan memanipulasi kenyataan. Sayangnya, aku cuma manusia biasa dengan dua ginjal dan satu kepala yang makin panas tiap harinya.
Tugasku jadi semacam jembatan, atau lebih tepatnya jaring laba-laba antara ekspektasi absurd dan logika nyeleneh. Antara klien yang mendadak minta ganti plan pas larut malam, dan saat pemegang kendali pun sudah tarik selimut.
Dari mulai nyari bahan kayak disuruh bikin parfum dari air keran, hasilnya harus mewah, tapi modalnya cukup buat beli es teh pinggir jalan. Kadang rasanya seperti aku sedang menjahit akal sehatku sendiri, pakai benang merah.
Ada satu bagian yang sering disebut dengan ringan, tapi menghantam berat: "revisi". Kata pendek yang terdengar sopan, tapi dampaknya bisa mengacak-acak alur kerja yang tadinya sudah rapi. Seperti saat diminta, “Ganti A ke B ya, tapi jangan ngaruh ke lead time.” Kalimat-kalimat seperti itu, jika dikumpulkan, bisa jadi puisi suram.
Kadang aku heran, bagaimana mereka yang tak pernah menyentuh medan justru paling sering bicara soal strategi? Duduk di kursi empuk, lempar wacana dari balik meja, lalu hilang saat realita mulai berantakan. Mereka menyebutnya “delegasi”, tapi rasanya lebih mirip melempar bom waktu tanpa panduan cara menjinakkannya.
Yang di atas sibuk rapat—rapatkan barisan, katanya. Padahal yang rapat justru deretan tugas yang dilempar turun tanpa filter, tanpa peta jalan, tanpa bekal.
Motivasi? Tak lagi datang dari dalam. Kini, ia berdetak di atas kepala, seperti jam dinding kantor. Setiap detik berbunyi, menjadi pengingat bahwa tenggat waktu makin dekat. Bahkan saat libur, aku merasa jam itu masih memelototiku.
Terusss ... "Kamu harus bisa multitasking.” cenah. Hahaha
Dan aku multitasking: mengetik email sambil nyuci sepatu, mengangkat telepon sambil benerin genteng, membalas chat sambil melukis langit. Aku adalah bentuk hidup dari spreadsheet, bernapas dengan deadline, makan dengan to-do list, dan tidur dengan notifikasi yang menyala.
Pulang kerja? Itu mitos. Karena pikiranku masih tertinggal di gudang tempat semua barang dan beban pikiran berkumpul jadi satu. Di progress jahit yang katanya sudah mulai, tapi nyatanya baru niat. Tubuhku mungkin rebahan, tapi pikiranku sedang menyusun alasan logis untuk menjelaskan bahwa ‘lilac’ dan ‘lavender’ itu berbeda, meski di mata klien, “Sama aja kan? Ungu juga.”
Mereka bilang kerja keras tidak mengkhianati hasil. Tapi yang mengkhianati justru omongan yang bilang “Sudah acc ya”, lalu dua menit kemudian berkata, “Eh sorry, balik ke konsep awal aja deh.” Rasanya seperti dijanjikan liburan tapi malah dikirim ke ruang penyimpanan yang katanya rapi, tapi isinya tumpukan masalah yang menunggu giliran untuk ditindaklanjuti.
Kadang aku berpikir, mungkin suatu hari aku akan lari dari situasi ini. Menjadi peternak semut atau tukang parkir pesawat—pekerjaan yang punya awal, akhir, dan hasil yang bisa dilihat dengan jelas.
Tapi untuk sekarang, aku masih di sini. Menjadi bagian dari meja kerja yang berantakan, terus ditambah dengan tumpukan kertas yang tak berjudul, alat tulis yang usang, dan semuanya itu tergeletak begitu saja, seperti tumpukan janji yang tidak pernah ditepati.
Karena dunia ini butuh baju. Dan seseorang harus memastikan bagaimana baju itu berpindah dari pabrik ke tubuh orang-orang yang tak pernah tahu bahwa di balik kaos polos mereka, ada air mata seorang marketing.