Surat Kabar 38: Abrakadabra

 


April dan seisinya,

Lieur adalah saat hidup melempar seratus bola sekaligus ke arahmu, dan kamu cuma punya dua tangan, satu sendok, dan sehelai tisu bekas di saku celana. Dalam kondisi ini, otak langsung dipaksa jadi pesulap dadakan—tanpa panggung, tanpa topi silinder, tapi harus bisa mengubah stres jadi sebuah senyuman.

Memulai hari dengan mantra-mantra ajaib seperti, "Gapapa", "Bisa kok", dan "Ini belum gila". Kamu menjentikkan jari—tiba-tiba harus berubah dari anak introvert jadi orang yang bisa pentas di publik, dari manusia biasa jadi kombo guru spiritual, pengatur lalu lintas, pemandu sorak, chef, kurir, arsitek, motivator, dll. Sementara itu, dompetmu menghilang seperti kelinci dalam topi sulap, dan waktu istirahat berubah jadi ilusi optik.

Di tengah kepusingan itu, kamu mencoba bertahan sambil menggenggam tongkat sihir imajinasi, berharap bisa mengubah tugas numpuk jadi portofolio prestasi fiktif yang meyakinkan, suasana chaos jadi catatan hidup penuh solusi, dan notifikasi ponsel jadi suara tepuk tangan meriah. Tapi yang muncul malah alarm yang membangunkan kewarasanmu setiap paginya.

Dan apa yang paling ajaib dari semua? Kamu masih berdiri. Masih jalan. Masih senyum. Pusing sih, tapi kayaknya kamu pesulap hebat juga—meskipun jubahnya cuma jaket hoodie dan asistennya cuma segelas kopi.

Karena dalam dunia yang jungkir balik ini, kamu bukan cuma bertahan—kamu berevolusi. Dari penonton jadi pemain, dari kebingungan jadi pertunjukan, dari tisu bekas jadi jimat keberanian. Kadang sulapmu gagal, kadang kelinci dalam topi kabur entah ke mana, tapi tetap saja kamu tampil, lagi dan lagi.

Sebab meski lieur, kamu tahu: panggungnya nyata, penontonnya diam-diam bertepuk tangan, dan kamu—ya kamu—masih jadi pemeran utamanya.

Postingan Populer